Senin, 27 Agustus 2012

Desa Mas

Desa Mas merupakan salah satu desa wisata budaya yang sudah terkenal sejak dahulu hingga sekarang. Kebudayaan yang dihasilkan di kawasan wisata Desa Mas yang menjadikan desa ini terkenal antara lain kesenian, kerajinan ukir-ukiran, patung, dan lain-lainnya. Letak Desa Mas sangat strategis karena berada pada jalur wisata di Bali sehingga desa ini menjadi salah satu daerah tujuan wisata menarik yang berada di kabupaten Gianyar bagian barat. Di sepanjang jalan Desa Mas banyak ditemui artshop-artshop yang berfungsi sebagai tempat pemasaran produksi hasil kerajinan seperti ukir-ukiran, patung-patung dan bahkan menampung tenaga-tenaga kerja terampil sebagai pemahat, pematung, dan pengukir.
Desa Mas sangat ramai dikunjungi oleh wisatawan mancanegara maupun nusantara. Pada umumnya wisatawan yang berkunjung hanya sekedar untuk melihat-lihat pengrajin yang sedang membuat karya seninya dan ada pula yang membeli hasil industri kerajinan dari masyarakat desa ini. Desa Mas setiap harinya selalu ramai dikunjungi wisatawan karena desa ini terletak pada jalur utama jalan raya antara Denpasar, Ubud, Tampaksiring dan Kintamani. Dari ibukota Denpasar menuju desa ini hanya berjarak sekitar 20 km dan jarak dari Gianyar ke Desa Mas hanya berkisar 10 km, sedangkan dari kota kecamatan Ubud hanya berjarak 6 km.
Berdasarkan sejarah, asal usul nama Desa Mas masih berhubungan erat dengan kerajaan Majapahit di pulau Jawa. Pada sekitar abad 13 di Bali pada jaman kerajaan Bedaulu di mana saat itu berkuasa rajanya yang bergelar Sri Tapalung atau Sri Gajah Waktra dengan nama kebesarannya yaitu Sri Aji Asta Sura Ratna Bumi Banten. Beliau terkenal dengan keangkuhannya dan kelalimannya. Raja Sri Tapalung memiliki kesaktian dan juga mendapat dukungan oleh Menteri serta Patih-patihnya. Mereka antara lain Pasung Grigis, Gudug Basur, dan lain-lainnya. Mendengar kerajaan Bedaulu di Bali yang sedemikian rupa keadaannya, akhirnya raja Majapahit yang kedua yang bernama Sri Kala Gemet atau Sri Jaya Negara putra dari Sri Arsa Wijaya atau Prabu Kerta Rejasa Jaya Wardana (raja Majapahit pertama) mengutus patihnya Gajah Mada untuk menyerang kerajaan Bedaulu yang juga didampingi oleh Panglima Perang Arya Damar dan beberapa arya-arya pembantunya. Dalam pertempuran yang sangat sengit antara kerajaan Majapahit dan kerajaan Bedaulu, akhirnya kerajaan Bedaulu mengalami kekalahan. Setelah peperangan tersebut berakhir, beberapa arya-arya yang datang dari Majapahit memutuskan menetap tinggal di Bali untuk membenahi kerajaan Bedaulu dengan situasi yang kacau balau dan porak poranda setelah dikalahkan oleh Majapahit. Arya-arya Majapahit yang menetap tersebut antara lain Tan Kober (nama di Bali menjadi Mas Wilis), Tan Kawur (nama di Bali menjadi Mas Sempur), dan Tan Mundur (nama di Bali menjadi Mas Mega.
Setelah sekian lamanya mereka menetap di Bali dan kerajaan Majapahit mengalami kejatuhannya yang disebabkan oleh situasi dalam negerinya serta pengaruh oleh perkembangan agama Islam. Seorang Brahmana dari Majapahit yang tidak betah lagi tinggal di pulau Jawa, datang ke pulau Bali yang masih kuat ingin mempertahankan agama Hindu yang saat itu didesak oleh pengaruh dari agama Islam. Beliau ini adalah Pedanda Sakti Wau Rauh atau dengan nama lain Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra. Sesampainya di tanah Bali bersama sanak keluarganya dan entah berapa tahun lamanya dengan pengalaman suka dukanya, akhirnya beliau sampailah di desa Mas atas undangan Mas Wilis. Selama berada di desa Mas, beliau banyak memberikan pelajaran dan pengetahuan baik di dalam bidang agama, sosial, seni budaya dan lain-lainnya kepada Mas Wilis. Setelah Mas Wilis mendalami semua pelajaran dan pengetahuan yang diberikan Dang Hyang Nirartha, lalu mengadakan pediksaan yang oleh Dang Hyang Nirartha diberi gelar Pangeran Manik Mas. Sebaliknya, sebagai bukti bhakti untuk menghormati jasa-jasanya, Pangeran Manik Mas membuat pesraman atau Geria dengan segala perlengkapannya untuk Dang Hyang Nirartha. Demikian pula dengan Dang Hyang Nirartha untuk memperingati kejadian tersebut, beliau menancapkan tongkat tangi (pohon tangi) yang masih hidup dan hingga sekarang ini masih berada di jaba tengah Pura Taman Pule Mas. Sejak peristiwa tersebut, Dang Hyang Nirartha memberikan nama desa ini menjadi Desa Mas. Selain itu juga Pangeran Manik Mas mempersembahkan putrinya yang bernama Ayu Kayuan (Mas Gumitir), dari perkawinannya dengan Mas Gumitir menurunkan keturunan Brahmana Mas yang tinggal di Desa Mas hingga sekarang ini.

0 komentar:

Posting Komentar